BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 29 Juni 2009

data mahasiswa

DWI SEPTIKA SARI
1085111034
AKUNTANSI A

Minggu, 28 Juni 2009

JOGJA KOTA BUDAYA


JOGJA KOTA BUDAYA

Jalan menuju ke pantai selatan Jogja amatlah
mengasyikkan. Selain masih bisa dilihat pematang sawah
di kiri dan kanan jalan, juga udara yang masih bisa
dihirup kesegarannya di waktu sore hari.

Jalan-jalan di Jogja memang bukan jalan para dewa.
Bahkan, amat memprihatinkan, kota budaya yang katanya
telah mendunia kita, tidak hanya dibuat malu oleh
polusinya, tetapi juga dibuat hina oleh begitu
banyaknya papan-papan iklan yang ditata sekenanya.
Inilah kota budaya kata banyak penghuninya dengan
bangga.

Selain papan reklame yang ada hampir di sepanjang
jalan dalam kota, juga berbagai macam spanduk yang
entah mau menambah keindahan macam apalagi bila
dipampang di atas jalanan yang sudah penuh sesak iklan
penjaja dagangan.

Di sebuah jalan di Bantul, jangan heran, kalau masih
ditemukan spanduk yang berbunyi: "Komunis Musuh
Bangsa" dan sejenisnya. Entah kelompok macam apa yang
begitu getol memasang spanduk semacam itu. Kata teman
saya, "Orang memasang spanduk itu sudah tidak berpikir
lagi". Maklum, hanya otak yang sudah terindoktrinasi
ideologi permusuhan dan dendam kesumat saja yang masih
tergerak oleh slogan-slogan semacam itu. Dengan
memberi ruang slogan semacam, sebenarnya orang
tersebut tak lebih sedang mempersempit jalan lapang
kehidupan. Semangat kebangsaan hanya akan menemui
kuburnya sendiri dengan mengangkat tinggi-tinggi
permusuhan terhadap anak bangsa sendiri. Jelaslah,
dibalik slogan yang terpampang di wilayah Jogja itu,
ideologi anti-komunis masih digunakan sebagai senjata
untuk menakut-nakuti masyarakat untuk bangkit bersikap
kritis terhadap segala bentuk penindasan. Kita
sekarang bisa bertanya, kalau toh masih mau
menggunakan kata "musuh", siapakah sebenarnya musuh
bangsa? Lebih jelasnya lagi, siapakah sebenarnya musuh
rakyat? Orang yang berakal sehat tentu akan menunjuk
pada mereka yang gampang menyalahkan rakyat, dan
meracuni (baca: menghilangkan nyawa) para pejuang
kerakyatan, apalagi para pejuang hak-hak masyarakat
sipil.

Jogja kota budaya, tetapi fakta di lapangan lebih
menunjukkan betapa majemuknya wajah budaya
masyarakatnya. Dan juga, betapa jauhnya bentangan
jurang antara cita-cita dan kenyataan. Budaya tidak
hanya sekedar dibangun di gedung-gedung dengan
berbagai keseniannya, tetapi budaya itu adalah habitus
yang sedang dihidupi masyarakatnya. Adakah keriuhan
papan reklame dan slogan-slogan di kota Jogja lebih
merupakan cermin habitus kerakusan merebut ruang
publik? Yang di gedung DPR rakus merebut uang-uang
proyek, di kekuasaan pemerintah rakus mengeruk
dana-dana, sopir-sopir taxi pun tak ketinggalan dalam
rakusnya meminta bayaran melampaui yang tertulis dalam
argo-nya. Begitulah, Jogja lebih menampakkan sebuah
kota budaya, tetapi masih serba campur-baur berebut
ruang dan penuh rakus di jiwanya.



__________________________________
Sumber :
http://celebrity.mail.yahoo.com